Kabar  

Taman Baco Atap Rumbe, dari Lembaran Buku ke Pelukan Alam

Irma Tambunan baru saja turun dari kendaraan bermotor saat menerima telepon Syaifuddin Gani dari Forum TBM, untuk melakukan wawancara jarak jauh terkait kiprahnya di jagat literasi di Jambi.

“Saya baru saja turun dari kendaraan, Bang,” sapanya dari ujung telepon.

Yah, Irma Tambunan dikenal sebagai salah satu pendiri sekaligu pengelola Taman Baco Atap Rumbe. Sebuah taman baca yang terletak di Desa Jambi Tulo, Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Kata ‘baco’ adalah kosakata khas yang lahir dari rahim penuturan khas masyarakat Jambi, sebagai pengaruh dari bahasa Melayu.

Taman Baco Atap Rumbe, demikian penjelasan Irma, terbentuk di awal pandemi pada tahun 2021. Ia hadir diawali berawal rasa keprihatinannya. Mengapa? Tersebab di Desa Jambi Tulo saat itu, anak-anaknya banyak yang buta huruf dan buta hitung. Apatah lagi di masa pandemi, kegiatan belajar mengajar (KBM), hanya dapat berlangsung daring. Sementara di pedalaman Jambi sulit akses jaringan internet.

Realitas pelik ini membuat KBM di sekolah, tidak berjalan optimal. Itulah sebabnya, banyak anak-anak di kelas satu dan dua masih putus-putus membaca. Baca tulis mereka tidak lancar. Atas dasar itu kemudian, gimana kalau yuk bikin taman bacaan, begitu suara Irma dari balik percakapan telepon kami, mengulik kembali perjuangannya empat tahun silam.

Lalu tiap hari Minggu anak-anak pun kumpul bareng. Pada hari Minggu Irma dan kawan-kawan mendatangkan sukarelwan untuk mendampingi dan mengajari baca tulis, dan berhitung. Pada hari lain, mereka membaca secara mandiri.

Nah, dari mana asal penamaan Atap Rumbe? Irma yang kini menapaki usia 45 tahun menjelaskan secara eko-filosofis. Di Desa Jambi Tulo, potensi tumbuhan itu adalah rumbe. Ada yang menyebutnya sebagai rumbia. Kalau di Jambi, disebut rumbe. Daun rumbe itulah yang digunakan sebagai atap pondok, muasal dari penamaan taman bacanya. Pondok itu dikreasikan menjadi taman bacaan yang dibuat di atas kolam ikan. Penamaan ini beralaskan pada realitas ekologis desa tempat mereka bermastautin dan mengembangkan gagasan dan programnya. Jadilah Taman Baco Atap Rumbe.

         Kehadiran sebuah komunitas, memiliki sejarahnya sendiri. Terdapat situasi sosial tertentu yang membidani kelahirahannya. Dengan lain kata, ia berada tidak dari langit kekosongan. Tetapi berpijak di bumi realitas yang mengepungnya. Dengan juga dengan Taman Baco Atap Rumbe, diinisiasi menjelang akhir tahun 2021 setelah pandemi yang mencekik, berakhir. Masa pandemi di Indonesia cukup membatasi ruang gerak anak-anak Jambi Tulo untuk belajar. Situasi ini membawa anak menjadi buta huruf karena KBM tidak lagi normal. Ada ketakutan yang menjalar akan keselamatan nyawa saat itu, sesuatu yang sangat berharga dibanding yang lain, tentunya. Maka, Taman Baco Atap Rumbe benar-benar diluncurkan di 1 Januari 2022, tepat beberapa saat ketika terompet tahun baru memecah keluasan langit Jambi.

Warga belajar Atap Rumbe adalah anak-anak dan remaja, kisaran usia 7 sampai 15 tahun. Tetapi anak-anak yang dulu berusia 15 tahun, sekarang masuk SMA, sudah berusia rata-rata 16 sampai 17 tahun. Artinya mereka memasuki fase perkembangan hidup yang baru. Mereka inilah saat ini berproses untuk regenerasi sukarelawan di Atap Rumbe. Saat ini, jumlah relawan yang aktif berkisar 5 sampai 6 orang. Walau yang sering datang di taman bacanya lebih banyak dari itu.

Taman Baco Atap Rumbe memiliki keunikannya sendiri, yakni berada di pedalaman dengan potensi alam, beberapa di antaranya tanaman rumbia. Ia juga terhubung dengan satu tempat dengan lokasi ekowisata anggrek hutan. Jadi Atap Rumbe satu lokasi dengan Taman Sakat Labuh Panjang sebagai ekowisata. Sakat adalah nama anggrek hutan dan pakis-pakisan dari bahasa Melayu, yang berbiak di hutan-hutan Jambi.

Sejak berdirinya, Taman Baco Atap Rumbe sudah dikerjakan secara kolaboratif. Irma Tambunan bersama para pemuda pelestari anggrek hutan bernama Gerakan Muarojambi Bersakat. Beberapa pendiri lain adalah Adi Ismanto, Edwar Sasmita, dan Andreas sebagai bentuk kerja gotong-royong. Sakat dalam bahasa Jambi berarti anggrek hutan. Mereka lalu merehabilitasi sebuah pondok reot di atas kolam ikan, menjadi lebih layak. Rak buku disiapkan. Lalu, buku dihimpun, warga belajar datang berduyun-duyun.

Secara geografis, jarak dari ibukota Jambi ke Desa Jambi Tulo di Kabupaten Muaro Jambi, jaraknya cukup dekat. Jika ditempuh dengan perjalanan bermotor, dapat dicapai sekitar 30 menitan saja. Apalagi karena sudah ada jembatan penghubung baru dari ibukota Jambi ke Kabupaten Muara Hambi menuju TBM-nya. Jembatan dengan panjang sekitar 20 kilometer itu bernama Jembatan Batang Hari II. Sebuah jembatan yang mengantar hari-hari penuh warna ke taman baca.

Aktivitas yang di Atap Rumbe terutama dilakukan tiap hari Minggu. Praktik baik baca tulis dipadu dengan pendidikan tentang alam. Jadi ada read aloud, berdongeng, dan berhitung yang berpilin dengan dengan ilmu alam. Merka ada program semi outbound untuk pengenalan tumbuh-tumbuhan. Jadi sejak lahir, praktik berliterasi di bawah atap rumbe itu bersatu padu belaka dengan belajar di rahim alam. Mereka membuka harumnya lembaran buku, lalu berserobok ke dalam dunia alam.

Selain warga belajar Atap Rumbe, juga sering didatangi anak dari TBM lain karena keunikan yang terhubung dengan alam seperti anggrek ratusan jenis. Kekhasan lainnya adalah terdapat danau kecil, tempat ikan dari spesies lokal yang dilepas bebas. Mahasiwa dari kampus terdekat juga sering datang untuk riset anggrek dan tentang regenerasi literasi.

Taman baca yang dikelola Irma kemudian bergerak lebih jauh. Mereka mengamalkan regenerasi penganyam agar tidak terputus. Selama ini menganyam lebih identik dengan keterempailan generasi orang tua atau nenek-nenek. Atap Rumbe lalu mengedukasi anak didik agar menjadi generasi penerus. Mereka pun menganyam bahan dari alam. Anyaman yag lahir dari jari-jari mungil dan bening. Bahannya adalah daun rumbia dan resam. Hasilnya adalah alas di meja makan, gelang, cincin, dan macam-macam. Sebuah produk sederhana yang dijalin dari alam.

Irma sadar bahwa sejak didirikan, Atap Rumbe mendapat uluran dari tangan pemurah berupa bahan bacaan. Itulah sebabnya di kemudian hari, ia berapa kali juga donasi buku ke taman baca yang baru lahir.

Meskipun demikian, Irma dihadapkan pada relitas yang dihadapi banyak taman baca lain di Provinsi Jambi, yakni daya hidup dan daya tahan. Sebuah taman baca akan diuji oleh waktu. Begitu juga Atap Rumbe yang dikelolanya. Itulah sebabnya, ia senantiasa menyegarkan sukarelawan sebagai sumber daya penting dalam menyelenggarakan program dan menggerakkan taman baca. Ia juga pernah memanfaatkan bantuan pemerintah (banpem) dari Badan Bahasa yang ia dunakan untuk gerakan literasi secara lebih masif dan nyata.

Saat ini, Taman Baco Atap Rumbe memantapkan diri dengan kegiatan yang senantiasa melibatkan tangan-tangan relawan. Mereka bekerja dengan cinta. Sebab cinta mampu mengatasi segalanya.

Salah satu kekuatan Atap Rumbe adalah adanya transformasi dari lembaran buku ke harumnya anggrek, kecipak air di danau oleh sayap ikan, dan angin yang menggetarkan pohon-pohon. Inilah praktik literasi yang senantiasa kontekstual. Ada membaca huruf, menghitung angka, lalu terjun ke pelukan alam.

Dari sana, inspirasi lahir dan ditimba.

Percakapan jarak jauh saya dengan Irma terhenti. Lalu, kata-kata mulai ditata dan dihimpun, sebagaimana yang terhidang di hadapan pembaca saat ini.

Penulis: Syaifuddin GaniEditor: Heri
Exit mobile version