Merayakan Bulan Bahasa dan Sastra sejatinya adalah merayakan literasi. Antara bahasa, sastra, dan literasi adalah tiga poin penting yang saling berpilin satu sama lain, tidak dapat dipisahkan. Apatah lagi saat ini, literasi menjadi percakapan bersama memasuki berbagai lapis sosial di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, literasi dirayakan oleh siapa saja, bukan hanya oleh kaum dewasa, tetapi juga oleh kalangan anak. Dari pejabat negara sampai pegiat literasi di berbagai daerah.
Demikianlah yang dapat ditangkap pada Puncak Perayaan Bulan Bahasa dan Sastra yang ditaja oleh Forum TBM pada 30 Oktober 2025. Adapun tema yang diusung adalah “Literasi dalam Kehidupan Sehari-hari”.
Proses jalannya kegiatan yang berlangsung secara virtal ini, walau tersaji dalam waktu yang cukup panjang yakni mulai pukul 12.30 s.d 17.30 WIB, tetapi tetap menarik dan menahan peserta yang jumlahnya sekitar 100 orang, karena dipandu oleh moderator dan pewara yang bagus.
Sesi pertama yang dipandu Kak Wawa, diawali dengan diskusi remaja yang bertajuk Remaja Bicara Literasi. Sesi ini cukup seru karena menghadirkan tujuh panelis remaja yakni Aisha (TBM Al Aman, DIY), Majesty dan Tasia (Rumah Baca Cendrawasih), M. Afdhal dan Masludin (Pustaka Kampung Impian), Daffa (TBM Al Aman, DIY), serta Panji (TBM Lisan, Tarakan).
Sangat menarik mendengar pengalaman ketujuh panelis remaja tersebut karena langsung ditimba dari praktik baik literasi yang mereka lakoni secara nyata. Panji misalnya dari TBM Lisan Tarakan saat menjawab pertanyaan mengenai kepedulian mendengar dongeng, dari ruang virtual memberi jawaban yang cukup cakap dan menggugah.
“Kepedulian menjadi sangat penting. Ia merasa dihargai Kak dan didengar, sehingga perasaannya senang dan bahagia. Orang yang berdongeng saat kita dengarkan dengan baik, pasti dia senang,” jawab Panji.
Suasana bulan bahasa sangat meriah karena disertai oleh pandangan tiga penanggap yakni Apep Saepudin (Bendahara PP Forum TBM), Ito Lawputra (Divisi Program PP Forum TBM), dan Annisa Kurniati (TBM Besembang, Karimun). Tujuh panelis remaja merasa dihargai dan diapresiasi karena mendapat penguatan dari orang dewasa yang juga pelaku literasi.
Forum TBM mampu mengemas Bulan Bahasa dan Sastra kali ini dengan apik. Sentuhannya memadukan antara laku di lapangan dan visi dari pejabat literasi. Pada sesi kedua, yang dirancang sebagai diskusi besar mengusung tema “Rentenir: Literasi dan Bahasa Sehari-hari.” Inilah topik yang sangat relevan dengan realitas hidup di kekinian. Banyak masyarakat Indonesia yang tersandra dan menjadi korban pinjol (pijaman online).
Terdapat tujuh narasumber yang berbagi gagasan dan pengetahuan di hadapan puluhan peserta yang datang dari berbagai wilayah di tanah air. Aris Munandar dari Forum TBM memandu jalannya acara.
Narasumber pertama adalah Joko Santoso. Dalam materinya, Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional tersebut menjelaskan mengenai konsep belajar sepanjang hayat, manusia literat, dampak sosial keberliterasian, dan bahasa dalam praktik literasi finansial.
Nissa Rengganis menyajikan paparan soal dunia kebudayaan. Staf Khusus Menteri, Kementerian Kebudayaan itu menguraikan hal ihwal mengenai pertemuan tradisi dan teknologi yang melahirkan bentuk seni hibrida antar lain ritual dan coding, serta batik dan AI. Pejabat sekaligus penyair tersebut juga menerangkan tentang ekspresi budaya digital yang dapat mendorong masyarakat menjadi prosumer—sekaligus pengonsumsi dan produsen makna.
Hafidz Muksin hadir dengan topik yang segar. Ia mengulik pentingnya partisipasi semesta untuk peningkatan literasi. Pada forum yang penting ini, Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tersebut menjelaskan mengenai posisi penting pegiat literasi.
“Komunitas penggerak literasi merupakan mitra Badan Bahasa dalam mengembangkan dan meningkatkan pembudayaan literasi di masyarakat. Selain itu, komunitas penggerak literasi membutuhkan dukungan untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan literasi,” terang Hafidz.
Dunia buku sangat lekat dengan praktik baik literasi di tengah masyarakat. Helga Kurnia dari Pusat Perbukuan mengatakan bahwa buku bermutu bukan sekadar jendela. Ia adalah jembatan dalam membangun pikiran kritis. Hal ini sejalan dengan pandangan Tiurma Yuliana Indrawati, Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Madya, Direktorat Penerbitan dan Fotografi, Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif, mengatakan bahwa literasi tidak sekadar membaca teks tetapi juga membaca dunia, membaca realitas, membaca peluang, dan menciptakan lapangan kerja hasil dari membaca tersebut.
Ketua Umum Forum TBM, Opik, berkesempatan memaparkan secara mendalam posisi strategis lembaga yang dipimpinnya tersebut. Ia katakan bahwa TBM selalu dapat dikembangkan untuk berkolaborasi dengan segenap pihak untuk pemajuan dunia literasi lintas sektor.
“Bahkan saat ini ada TBM yang bergerak jauh, seperti memasuki dunia pangan lokal. Artinya pegiat memasuki isu yang sesuai dengan konteks masing-masing di wilayahnya. Di sinilah titik penting kehadiran komunitas literasi di berbagai daerah,” jelas Opik yang baru saja menyelesaikan S3-nya beberapa pekan silam.
Sesi interaktif sangat hidup. Tujuh panelis remaja merespons pertanyaan audiens maya dengan jawaban yang meyakinkan, penuh daya hibur. Narasumber dari sesi kedua, memberi pandangan yang meyakinkan dan siap berkolaborasi dengan Forum TBM untuk Indonesia yang lebih berkemajuan. Hal penting dari Bulan Bahasa dan Sastra ini adalah hadiranya dua anak TBM yang menampilkan dongeng secara virtual. Keduanya adalah Marwa Aulia Izzatunnisa dari TBM Besembang, Karimun, Kepri dan Hulya dari TBM Diary, Kota Kendari. Antara dunia gagasan dan praktik literasi bersatu dalam satu layar maya, yakni layar dari Bulan Bahasa dan Sastra yang dipersembahkan oleh Forum TBM.
![]()












