Oleh: Syaifuddin Gani
Di dalam berbagai grup WhatsApp, Facebook, dan blog, sastrawan Gol A Gong mengumumkan bahwa ia akan melakukan perjalanan literasi ke berbagai negara Asia dan Eropa. Ia membawa serta dua anaknya menghikmati perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan lamanya, dengan tajuk Literacy Journey Gol A Gong.
Saya lantas menghubunginya dalam percakapan interaktif untuk menggali lebih dalam, ihwal rencana perjalanan itu.
Hal apa lagi yang ingin Gol A Gong raih dalam literacy journey ini? Apa pesan bagi pegiat literasi di Indonesia? Itulah dua pertanyaan awal yang saya sampaikan ke penulis novel Balada Si Roy dan juga pendiri Rumah Dunia ini, melalui telepon.
Gol A Gong menjawab bahwa hal pertama yang mendasarinya adalah karena kita punya semacam grand desain gerakan literasi nasional. Ada tiga gerakan, yakni literasi keluarga, literasi masyarakat, dan literasi sekolah. Ia mencoba konsisten pada jalur itu. Di journey literacy ini, salah satu tujuannya adalah mencoba mentransfer ilmu pada kedua anaknya yang tinggal di Indonesia. Dua anaknya yang lain yang tinggal di luar negeri, yakni anak pertama dan kedua, dapat dikatakan sudah berhasil. Anak pertamanya saat ini ada di Beijing. Anak kedua di Abu Dhabi. Artinya, keduanya sudah berada di dunia luar, menghikmati segala keunikan dan tantangannya.
Misi Literasi Keluarga, Membawa Dua Anaknya
Saat ini, anak ketiganya, Jordy Algifari, kuliah di Akademi Film Yogyakarta dan anak keempat, Natasha Harris, kuliah bahasa Korea di UPI, Bandung. Bagi pria yang lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 15 Agustus 1963 ini, literasi keluarganya belum selesai. Ada paket kedua yang wajib ia tunaikan. Di sinilah tujuan utamanya itu. Jika dulu, ia punya Rumah Dunia yang mengajak anak orang melihat dunia. Sekarang, saatnya Ketua Umum Forum TBM (Taman Bacaan Masyarakat) Indonesia periode 2010–2015 ini, mengurusi dua anak berikutnya sebagai ikhtiar menuntaskan literasi keluarga.
“Jadi, saya akan transfer ilmu di sepanjang perjalanan, mengenalkan dunia. Awalnya ‘kan membawa dunia ke rumah. Sekarang mengajak dua anak saya melihat dunia. Anak yang ketiga dan anak yang keempat,” terangnya, kemudian.
Makna dan kerja literasi bagi penulis yang memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris ini, dimulai dari keluarga sebagai madrasah pertama. Ia merasa kedua anaknya yang kini menempuh kuliah di Indonesia, belumlah cukup untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman literasi. Katanya, ia menyiapkan mereka untuk benar-benar memasuki jagat literasi secara kafah. “Saya siapkan untuk masa depan,” tegas penulis buku The Journey: From Jakarta to Nepal, ini.
Gol A Gong memberikan pelajaran informal bahwa hidup itu keras. Bagaimana berinteraksi dengan realitas sosial yang mengitari manusia. Juga bagaimana merespons sosiologi, antropologi, fashion, seni, filosofi di beberapa negara, dan kekhasan kulinernya.
Mengamalkan Tiga Literasi, Teks, Konteks, Realitas, dan Spiritualitas
Perjalanan ini akan membawa dan menempanya pada pengalaman di dua belas negara. Ini akan menjadi bekal fundamen sebagai data yang ditulis bagi kedua anaknya. Di sinilah makna literasi keluarga benar-benar termanifestasikan.
Bagaimana untuk literasi masyarakat? Suami dari Tias Tatanka yang juga dikenal sebagai penulis itu, akan bertualang ke berbagai negara. Gol A Gong mengajak anaknya ke komunitas-komunitas dan ke diaspora. Mereka lalu membuka ruang diskusi, memetik pengetahuan, dan mengalami atmosfer hidup di sana. Praktik menulis akan dilakoninya. Ihwal yang ditulisnya dapat berkisar tentang toko buku dan jagat literasi di beberapa negara. Mengunjungi perpustakaan di negara tujuan menjadi agenda tersendiri, yang menjadi bahan menarik bagi tulisannya, kelak. Jordy Alghifari yang kuliah film di Jogja, mengerjakan film pendek. Lalu, Natasha Harris, anaknya yang kuliah bahasa Korea di UPI Bandung, akan menulis buku. Di ujungnya, keduanya pulang akan menulis buku. Buku yang menerakan kisah-kisah, dongeng dari negeri jauh.
Saat saya bertanya bahwa apakah kedua anaknya akan berkarya sebagai bentuk pertanggungjawaban kreatif terhadap dunia literasi, Duta Baca Indonesia ini memberikan jawabnya yang sangat mendalam.
Ia menyebut Surah Al Mulk Ayat 15, sebagai dasar teologisnya. Terjemahan surah ini, yakni Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Penulis buku puisi Air Mata Kopi yang masuk 10 besar Buku Puisi Terbaik Yayasan Hari Puisi Tahun 2014 ini, mengatakan bahwa ayat tersebut berisi pesan agar manusia melakukan perjalanan atau penjelajahan di muka bumi dan menikmati makanan (kuliner) yang tersedia atau terhidang di atasnya.
Dari sini, Gol A Gong memaknai dan menghubungkan antara teks dan konteks. Baginya, harus ada tanggung jawab moral mengenai hablum minannas dan hablum minallah. Tanggung jawab moralnya melalui tulisan. Karena jejak di masa depan itu, tulisan hadir dalam dua bentuk sekaligus, soft file dan versi cetaknya. Artinya, perjalanan literasi ini, membawa Gol A Gong dan anaknya dalam memahami teks dan konteks, dari realitas ke spiritualitas.
Merobohkan Seluruh Dinding, Menatap Keluasan Dunia
Misi yang diemban oleh ayah bagi keempat anaknya ini adalah karya. “Mudah-mudahan perjalanan ini bisa melahirkan film pendek dan buku,” jelasnya.
Itulah sebabnya, Gol A Gong sangat yakin bahwa praktik literasi yang dimulai dari keluarga, harus ditopang oleh subsidi dari orang tua kepada anak.
Ia mencoba mentransformasi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Jika, Ki Hajar Dewantara bilang, robohkan satu dinding kelas, agar anak-anakmu bisa melihat cakrawala, maka Gol A Gong memperluasnya dengan cara merobohkan seluruh dinding-dindingnya. Filosofinya adalah membawa anak-anaknya untuk melihat keluasan dunia yang terentang dari berbagai segi, dari keberbagaian arah. Di sini, dunia akan tampak benderang.
Hal yang ingin ia tekankan bahwa ilmu yang anak-anaknya peroleh dari buku dan bangku kuliah akan dikonfirmasi lagi ke kontekstualitas, ke dunia fakta yang terhampar di depannya.
Praktik ini biasanya dulu ia terapkan ke relawan Rumah Dunia saat melakukan safari literasi atau gempa literasi. Masa itu, usia anak-anaknya masih kecil. Sekarang karena anaknya sudah besar, ia bawa mereka untuk konfirmasi atas apa yang ia dapat di bangku sekolah dan bangku kuliah, ke realitas sosial yang sesungguhnya.
Untuk membuka ke arah itu, di sepanjang perjalanan, ia dan anaknya akan membuat draf kecil, tulisan kecil, semacam outline. Mereka akan tinggal dalam satu kamar, demi kesuntukan dalam bekerja.
Perjalanan literasi ini, penuh perjuangan yang harus ditempuh oleh Gol A Gong. Ia membuat semacam term of paper, lalu disebar ke KBRI di 12 negara. Ia punya data dan fakta dan kemudian ditawarkannya sebagai program safari literasi Duta Baca Indonesia (DBI) di fase akhir tugasnya sebagai duta baca.
Di dalam percakapan intens kami via telepon itu, Gol A Gong menegaskan jika pihak KBRI tertarik pada konsepnya maka ia menjadi narasumber pada sebuah talkshow dan pelatihan menulis yang dibarter dengan akomodasi. Beberapa negara sudah menyatakan kesediaannya. Seperti Bangkok, Vientiane-Laos, Hanoi lagi dirapatkan, Beijing (sambil nengok anaknya di sana). KBRI Kazakhstan sudah siap. Di sana ada Fadjroel Rachman sebagai dubesnya yang juga dikenal sebagai penyair. Terdapat agenda peluncuran antologi puisi-film dipersiapkannya. Beberapa negara lain juga sudah siap seperti Azerbaijan, Georgia, Turki di Ankara dan Istanbul juga bersedia. Di Uni Emirat Arab, Kota Dubai dan Abu Dhabi siap menyambutnya. Setelah itu, Gol A Gong dan kedua anaknya pulang ke Kuala Lumpur pada Maret 2026. Di sana, istrinya akan bergabung yang datang langsung dari Jakarta. Di Kuala Lumpur nanti, mereka akan merayakan literasi, merayakan cinta, merayakan nikmatnya petualangan!
Tiga Fase Hidup Gol A Gong
Di ujung perbincangan hangat kami, Gol A Gong mengisyaratkan pencapaian fundamental dalam hidupnya. Ia bilang, sesungguhnya, hal ini telah ia lakukan sejak usia muda. Sebab, hidup harus direncanakan by design.
“Saya telah kunjungi berbagai negara. Oh negara luar itu, aman. Sehingga saya dapat membawa keluarga dengan aman dengan pola-pola tertentu. Saya telah mengalami tiga fase hidup sampai saat ini. Bagi saya, ini menarik,” lirihnya.
Inilah tiga fase, menjadi semacam peta perjalanan hidup Gol A Gong sampai saat ini. Fase pertama, waktu ia usia muda. Sumber pendanaannya adalah ia bertarung badminton di beberapa kampung. Bahkan ia melakukan taruhan. Fase pertama itu terjadi pada masa bujangan. Kemampuannya bermain bulu tangkis, mencapai puncaknya saat ia mendapat gelar juara pada ajang Fespic Games di Solo (1989) dan Kobe, Jepang (1990). Pada kejuaraan itu, ia telah mengukir namanya dan Indonesia pada tingkat Asia Pasifik. Prestasi sebagai juara badminton itu ia raih sebelum menjadi Gol A Gong, sebagai penulis.
Fase kedua, ia mulai menulis travel writing, catatan perjalanan. Di sini, ia sudah menjadi Gol A Gong, sudah menjadi penulis. Di dalam kerja menulis, ia mendapatkan honor. Pada fase ini, ia melakukan perjalanan. Tulisan itu ia petik dari perjalanan ke perjalanan, dari petualangan ke petualangan.
Fase ketiga, ia menjadi narasumber. Menjadi narasumber dilakoni setelah berjuang dalam dua fase sebelumnya, sebagai arena pembelajaran. Saat bekerja sebagai narasumber, ia berbagi kisah perjalanan, proses menulis, dan lika-liku yang dialami seorang penulis.

Dari Alvin Toffler ke John Naisbitt, dari Ki Hajar Dewantara ke Paulo Freire
Ketiga fase yang diterangkan sebelumnya, sangat menarik bagi Gol A Gong. Maka, sampailah ia pada pendapat bahwa jika merumuskan perjalanannya dalam formula yang dimulai dari Alvin Toffler, John Naisbitt, Ki Hajar Dewantara, Ivan Illich, Paulo Freire, Rabindranath Tagore, Maria Montessori, sampai Howard Gardner yang masuk ke kepalanya lalu dirumuskan dan diinternalisasi, mewujud pada tiga fase hidup yang ia telah lewati itu.
Sebagai penulis dan pelaku perjalanan, Gol A Gong mengakui bahwa ihwal yang teramat penting adalah bagaimana mencerna dan memamah pandangan yang dikemukakan para pemikir-pemikir itu. Gagasan dari Alfin Toffler tentang Tiga Gelombang Peradaban dan Megatrend dari John Naisbitt, telah ia mamah, namun masih menyisakan pertanyaan kritis.
“Akan tetapi, saya masih harus memaknainya kembali, karena ada yang rumpang di sana,” katanya menegaskan.
Untuk itulah, sebagai kepala keluarga, Gong harus mengenalkan kepada anaknya mengenai information overload, dan bagaimana merespons hal itu. Hal itu sebenarnya adalah soal literasi keluarga dan nanti bagaimana mereka mengaplikasikannya pada literasi masyarakat dan literasi akademik di sekolah. Semua harus dimulai dari keluarga.
Gol A Gong, telah memberi pelajaran bahwa karya para pemikir dan penulis dunia, harus dibaca untuk memperluas cakrawala pandangan. Pemikiran mereka adalah sebuah teks yang terbentang. Akan tetapi, teks tidaklah cukup, ia harus dikonfirmasi kepada konteks, kepada realitas tempat hidup masyarakat dengan segala keunikannya. Hal penting lain yang dikemukakan oleh penerima Anugerah Tokoh Kebahasaan dan Kesastraan, kategori Tokoh Pegiat Literasi pada tahun 2020 ini adalah kemampuannya menghubungkan kerja literasinya pada pendalaman spiritual.
Baginya, Literacy Journey Gol A Gong yang dimulai pada 22 Desember dan akan berakhir 12 Maret 2026 ini, bukan semata perjalanan literasi, tetapi ia sekaligus panggilan yang sifatnya imaniah.
Dalam pada itu, Gol A Gong dan anak-anaknya, tidak hanya melihat realitas hidup yang mungkin profan di dunia sana, tetapi sekaligus ia menghikmati dan memetik segala sesuatu yang sakral. Ia akan mendapatkan kisah-kisah yang mengharukan, sekaligus menggetarkan. Pada titik itu, ia telah mengamalkan sebuah firman, Bacalah!
Kendari, 18 Desember 2025
![]()


