Nalar  

Kebudayaan Pesisir dan Pedalaman dalam Konteks Sosial Politik di Indonesia

Kebudayaan Pesisir
IST.

Oleh. Heri Maja Kelana

Pada tahun 2005, ketika saya masih sebagai mahasiswa sastra Indonesia, tentu diwajibkan membaca buku-buku sastra oleh dosen. Dan waktu itu buku yang diwajibkan adalah buku yang berjudul saya menemukan buku sastra yang berjudul Teori Kesusastraan, ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Waren.

Meski buku Rene Wellek dan Austin Waren buku lama, namun sangat mudah didapatkan di toko buku Palasari, Bandung pada waktu itu. Toko buku Palasari tergolong lengkap, mau mencari buku apa saja, pasti ada. Entah para pedagang itu mendapatkan dari mana.

Buku Rene Wellek dan Austin Waren saya dapatkan beserta buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, karya Ignas Kleden.

Entah mengapa saya tertarik dengan bukunya Ignas Kleden pada waktu itu. Mungkin karena bukunya adalah kumpulan esai, sehingga hidup dan bernyawa. Dan saya mencari buku-buku lain dari Ignas Kleden, hingga saya pergi ke Jakarta untuk mendengarkan pidato kebudayaan Ignas Kleden di Taman Ismail Marzuki dalam acara “Pekan Presiden Penyair” tahun 2007. Acara tersebut adalah memperingati ulang tahun Sutardji Chalzoum Bachri.

Pidato Kebudayaan Ignas Kleden di Dewan Kenenian Jakarta tahun 2009 bagi saya sangat dasyat. Pidato kebudayaan tersebut diberi judul “Memperkuat Masyarakat Sipil dengan Kesenian untuk Mengelola Negara dan Pasar Lebih Baik: Seni dan Civil Society (dengan referensi khusus kepada penyair Rendra)”. Saya terus mengikuti pemikiran-pemikiran Ignas Kleden, baik dari pidato kebudayaan, esai, dan buku-bukunya.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, mencakup ribuan pulau yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang dan orientasi yang beragam. Salah satu dimensi penting yang sering dibahas dalam sosiokultural Indonesia adalah perbedaan antara masyarakat pesisir dan pedalaman. Namun, di balik pembagian ini terdapat kerangka yang lebih besar, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil (meminjam istilah Ignas Kleden). Pembahasan tentang keduanya memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial politik di Indonesia.

Kebudayaan Besar dan Kebudayaan Kecil

Kebudayaan besar adalah kebudayaan yang memiliki basis klasik, seperti kebudayaan Melayu, Jawa, Bugis, dan yang lainnya. Kebudayaan ini berkembang melalui sistem yang terorganisasi dengan baik, seperti tata negara dan tata krama, yang mengutamakan hirarki sebagai elemen penting. Di sisi lain, kebudayaan kecil tidak memiliki basis klasik, pengalaman dalam tata negara, maupun struktur hierarkis yang kompleks. Politik dalam kebudayaan kecil biasanya diatur oleh ketua adat atau orang-orang kuat dalam komunitasnya.

Ketika masyarakat dari kebudayaan kecil berinteraksi dengan kebudayaan besar, sering kali terjadi kejutan budaya. Hal-hal yang dianggap tidak relevan, seperti hirarki, menjadi sangat penting dalam kebudayaan besar. Contohnya adalah di Papua, di mana tata negara hampir tidak ada, dan tata krama hanya sedikit berkembang. Sikap egalitarian yang alami menjadi ciri khas kebudayaan kecil karena tidak adanya struktur hierarki yang kompleks.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa kebudayaan kecil memiliki potensi untuk berubah. Pendidikan, masuknya kebudayaan Barat, atau adaptasi terhadap kebudayaan besar dapat memengaruhi masyarakat ini. Sebagai contoh, raja-raja di Nusa Tenggara Timur pada masa kolonial diangkat oleh Belanda dan Portugis, menciptakan bentuk baru dari struktur kepemimpinan.

Orientasi Laut dan Darat

Selain perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, orientasi masyarakat ke laut atau darat juga menjadi kerangka penting dalam memahami budaya Indonesia. Dalam masyarakat yang berorientasi darat, seperti masyarakat agraris, sistem nilai yang berkembang bersifat feodal. Konsep tuan tanah dan hubungan patron-klien menjadi fondasi yang memperkuat hirarki sosial. Struktur ini mendukung organisasi yang baik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai feodalisme yang terkadang menjadi penghambat dalam konteks demokrasi modern.

Sebaliknya, masyarakat yang berorientasi ke laut memiliki etos yang berbeda. Kepemimpinan di laut, seperti yang terlihat pada seorang kapiten kapal, didasarkan pada tiga prinsip utama: pengalaman dan kompetensi, pengambilan keputusan cepat, serta etika kepemimpinan. Pemimpin harus berkembang dari bawah, mampu mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat, dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal saat terjadi bencana. Prinsip-prinsip ini mencerminkan semangat egalitarian dan pragmatisme yang lebih besar dibandingkan budaya feodal.

Perbedaan orientasi budaya ini memberikan kontribusi yang unik dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Masyarakat darat, dengan sistem organisasinya yang baik, memberikan stabilitas dan keteraturan. Sementara itu, masyarakat laut, dengan adaptabilitas dan pengalaman mereka, menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap perubahan. Keterbukaan masyarakat pesisir terhadap dunia luar membuat mereka lebih toleran dan dinamis, sedangkan masyarakat pedalaman cenderung tradisional karena minimnya interaksi dengan dunia luar.

Perbedaan ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi. Masyarakat pesisir yang sering terpapar dengan perbedaan dan inovasi cenderung lebih siap menghadapi perubahan. Sebaliknya, masyarakat pedalaman, yang lebih terisolasi, memegang teguh tradisi dan nilai-nilai lokal.

Dengan melihat karakteristik budaya laut dan darat, penting bagi Indonesia untuk mengubah cara pandang terhadap identitasnya sebagai negara kepulauan. Istilah “negara kepulauan” berorientasi pada darat, sedangkan 70% wilayah Indonesia adalah laut. Oleh karena itu, Indonesia lebih tepat disebut sebagai “negara lautan yang dihiasi pulau-pulau.” Perspektif ini menempatkan laut sebagai elemen sentral dalam kehidupan bangsa, bukan hanya sebagai batas geografis, tetapi juga sebagai sumber inspirasi budaya dan politik.

Kebudayaan pesisir dan pedalaman, serta perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, adalah cerminan dari kompleksitas masyarakat Indonesia. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat melihat bagaimana kekayaan budaya Indonesia dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan modern. Perpaduan nilai-nilai dari budaya laut dan darat, serta adaptasi terhadap konteks global, dapat menjadi dasar untuk menciptakan politik yang lebih inklusif, dinamis, dan berkeadilan. Perspektif baru ini, dengan menempatkan laut sebagai pusat, juga memberikan pijakan yang kuat bagi Indonesia untuk membangun identitas nasional yang lebih kuat.

Bagaimana Kerja-Kerja Kesusastraan dalam Konteks Pesisir dan Darat?

Kerja-kerja kesusastraan erat kaitannya dengan budaya, keduanya tidak dapat dilepaskan. Contoh dalam konteks kelautan (maritim) banyak karya sastra yang mengangkat kelautan sebagai realitas, identitas, bahkan sebagai politik. Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer misalnya.

Maritim dalam novel Arus Balik dijadikan sebagai pusat dari sebuah cerita yang dibangun oleh seorang Pramoedya Ananta Toer. Maritim bukan hanya sekedar realitas, identitas, dan politik, melainkan sebagai pusat kebudayaan dan juga bentuk perlawanan. Sehingga novel ini dapat menjadi kritik tajam untuk negara maritim yang kehilangan kesadaran dalam kebudayaan besar maritim.

Pada konteks kekinian, seorang penulis asal Indramayu Kedung Darma Romansha mengangkat realitas pesisir dengan begitu apik. Kita dapat melihat pada novel Telembuk. Pada novel tersebut, Kedung mengangkat cinta, kemiskinan, penyimpangan sosial, serta perebutan kekuasaan dengan latar dangdut, prostitusi di kawasan pesisir.

Kedua novel di atas dapat menggambarkan zaman, kedaua penulis tersebut beda generasi. Akan tetapi, pada satu titik penulis tidak dapat menyembunyikan sebuah keresahan. Pram, tentu saja ia menyadari bahwa Indonesia adalah negara maritim yang sangat besar. Pun Kedung menyadari dengan “ke-Indramayu-an”, realitas pesisir itu begini loh. Kedung tidak sedang menghakimi atau berdakwah, melainkan memberikan pandangan konteks realitas yang berkebudayaan dan kebudyaan itu nyata. Hal itu tidak dapat dipungkiri, arus itu bergerak dan siapa-siapa yang berada pada arus tersebut. Dampaknya akan beragam, tergantung dari cara kita. Apakah kita menikmati terbawa arus, atau melawan arus.

Novel yang menceritkan tentang feodalisme atau konteks realitas pedalaman (darat) juga sangat banyak. Sebut saja Baruang Ka Nu Ngarora. Sebagai orang sunda, tentu kita pernah membaca novel berbahasa sunda ini. Novel yang ditulis oleh D.K Ardiwinata menceritakan sorang Nyi Rapiah dan Aom Usman dalam konteks realitas feodalisme.

Atau mungkin ada karya sastra lainnya yang jarang sekali dibicarakan, yaitu Pengakuan Pariyem. Prosa liris ini dengan baik mengangkat konteks priyayi. Bagaimana seorang Pariyem yang notabene seorang babu berasal dari Wonosari, Gunung Kidul, rela dihamili oleh Den Bagus. Baginya, Pariyem mendapatkan keturunan dari darah biru akan memperbaiki tarap hidup anaknya.

Pada konteks hari ini, novel Ajengan Anjing karya seorang anak muda dari Garut ini berani mengangkat realitas yang terjadi di kampungnya. Hal ini petanda baik. Dan sudah seharusnya banyak anak-anak muda yang bersuara lewat karya.

Kerja-kerja kesusastraan memang bukan kerja yang instan, karja-kerja kesusastraan projek kemanusiaan, kebudayaan, filsafat, dan lain-lain. Oleh karena itu, ketika ada yang bertanya apakah ada dampak terhadap manusia? Maka jawabannya sangat berdampak bagi manusia.

Sebagai seorang vernian tentu saya akan memberikan gambaran bagaimana cara sastra yang mempengaruni. Karya-karya Jules Verne yang dikatakan sebagai fiksi ilmiah, banyak menginspirasi para ilmuan.

Banyak sekali karya-karya sastra yang berdampak pada kehidupan. Dan perlu kita ingat juga, bahwa karya sastra itu tidak ada batasan waktu. Sebuah karya dapat terus relevan dengan konteks kekinian. Ini adalah kekuatan dari karya sastra.

Silatusastra yang dilaksanakan oleh teman-teman di Panti Baca Ceria di Sumedang, sedang menuju pada satu kebudayaan baru. Atau mungkin dapat dikatakan suburban. Memiliki anak-anak muda yang cerdas dan progresif. Semoga kegiatan-kegiatan seperti ini terus berlanjut dan memberikan efek yang bagus untuk masyarakat, terutama kalangan muda.

Terima kasih.

Loading